Welcome Message

Welcome to My Blog ..... And thank you for coming ..... ^_^

Senin, 05 Maret 2012

Adele - Someone Like You

I heard
That you're settled down
That you
Found a girl
And you're
Married now

I heard
That your dreams came true.
Guess she gave you things
I didn't give to you

Old friend
Why are you so shy?
Ain't like you to hold back
Or hide from the light

I hate to turn up out of the blue uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it.
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me it isn't over

Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged
"I'll remember," you said

"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead."
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead,
Yeah.

You know how the time flies
Only yesterday
It was the time of our lives
We were born and raised
In a summer haze
Bound by the surprise
Of our glory days

I hate to turn up out of the blue uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it.
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me it isn't over.

Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged

"I'll remember," you said
"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead."

Nothing compares
No worries or cares
Regrets and mistakes
They are memories made.
Who would have known
How bittersweet this would taste?

Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged
"I'll remember," you said
"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead"
*Courtesy kordliriklagu.blogspot.com
Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged

"I'll remember," you said
"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead"

Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead

Cerpen : Yang Terakhir Untuk Sahabat


 
Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi, waktu yang sangat tepat saat Ansya bangun. Ia bergegas mandi dan mempersiapkan keperluan sekolahnya.
“Ansya, sarapan dulu, nak!” Suara itu datang dari arah ruang makan.
“Iya, Ma,” sahut Ansya yang sudah berseragam sambil berjalan ke arah ruang makan dengan membawa tasnya. Saat ia sampai di meja makan, ia langsung duduk dan mengambil makanannya.
Saat makanan di piringnya habis, ia bergegas pamit, “I’m done. I’ll go to school,”
Sepedanya yang bercorak hitam abu-abu sudah terparkir di depan. Jarak sekolah dari rumahnya memang dekat, tidak sampai satu kilometer. Jadi, ayahnya menyarankannya agar bersepeda ke sekolah. Mereka memang keluarga yang berpola hidup sehat dan tentu saja disiplin. Dan tidak ada yang merasa keberatan atas apa yang telah diterapkan di dalam keluarga mereka.
Ansya sudah sampai di depan gerbang. Saat di depan gerbang, ia berpapasan dengan teman akrabnya yang juga bersepeda ke sekolah. Mereka saling tersenyum dan melanjutkan kayuhan sepeda mereka menuju ke parkiran.
“Hey…” Ansya menyapa Dila dengan nada seperti orang yang tidak mendapatkan juara dalam lombanya.
“Oh ,Dear. Mimpi buruk lagi?” Tanya Dila sambil berjalan berdampingan dengan Ansya menuju ke kelas mereka.
“Ehmm…..” Ansya membalas tanpa kata.
Ansya dan Dila memang sahabat yang saling mengenal satu sama lain. Mereka berbagi apapun, bahkan tak ada rahasia antara mereka karena mereka percaya satu sama lain. Ansya mengenal Dila sejak duduk di bangku SMP. Bisa dibilang, keluarga Dila adalah keluarga yang sangat kaya dan dermawan. Keluarga Dila dikenal sebagai keluarga yang sangat ramah dan tidak pernah menganggap rendah orang bawah. Ansya tidak pernah menghiraukan hal itu, karena baginya Dila adalah sahabat sehati karena Dila mampu mengerti apapun yang Ansya rasakan.
Sahabat kembar identik adalah sebutan yang diberikan semua teman-teman mereka di sekolah. Walaupun tidak serupa, namun mereka serasa memiliki kontak batin, jika yang satu sedih, maka yang lainnya akan merasa hal yang sama. Itulah mereka.
Dila memulai percakapan saat sampai di kelas, karena memang belum ada bel tanda masuk.
“Jadi gimana? Gue jadi penasaran,” mulai Dila dengan menyodorkan wah penasaran.
“Ah, elo, Dil. Ngejek gue?” balas Ansya dengan nada marah dan wajah yang agak kesal.
“Hahaha….. Jangan marah, lah!” jawab Dila sambil tertawa canda.
Ansya hanya membalas senyum yang masih agak kesal. Walaupun begitu, dia tidak akan benar-benar kesal dengan Dila. Dia juga hanya berpura-pura kesal. Mereka menganggapnya suatu dramatisir anak remaja saat curhat satu sama lain. Mereka memang duo yang konyol, setidaknya menurut orang-orang yang mengenal mereka.
--o--
Ansya dan Dila menuju ke kebun sekolah. Itu adalah tempat yang paling sejuk dan nyaman untuk bercerita. Biasanya mereka ke tempat itu jika mereka ingin berkonsentrasi atau sekedar mengobrol rahasia (istilah untuk mereka). Mereka duduk bersandar pada sebuah pohon dan bersebrangan.
“Pertanda apa ya, Dil?” tanya Ansya sambil mengambil MP4 dari sakunya dan memasang earphonenya.
Nggak tau, Sya. Gue kan bukan penafsir mimpi. Hahaha…. Lagi pula, pikirin tuh masalah tentang konser! Jadwalnya tabrakan lho sama pentas drama kita. Itu kan konser yang pengen banget lo liat, gue juga sih,” jawab Dila sambil membuka-buka teenlit berjudul Wajah Baru Nicholas. Ia hampir menyelesaikan separuh buku.
Ansya yang mendengar jawaban dari Dila menunjukkan ekspresi yang sangat menyesal. Ia lalu melepaskan earphone dari telinganya lalu meletakkannya di sakunya kembali. Ia berdiri menghampiri Dila yang hanya di belakang pohon.
“Dil, gue tetep mau nonton tuh konser. Lo harus bantu gue. Ayo ikut gue!”
Ansya menarik tangan Dila, membuat Dila dengan terpaksa berdiri dan mengikuti ajakan Ansya dan tanpa berkomentar apa-apa. Dila tahu bahwa Ansya akan melakukan apa saja agar dia bisa menonton konser idolanya. Namun, apa saja yang tidak mungkin melanggar etika dan aturan. Jadi, Dila tampak begitu santai menghadapi sikap Ansya.
Mereka sampai di depan ruang seni. Ada beberapa teman Ansya yang latihan beberapa adegan dalam drama yang akan mereka tampilkan minggu depan saat acara pentas budaya akhir semster. Jam latihan seharusnya setengah jam lagi, namun mereka menggunakan waktu luang sebelum latihan untuk mengulang-ulang latihan yang kemarin mereka lakukan.
“Sya, nyari siapa?” kali ini Dila berkomentar karena Ansya terlihat seperti mencari-cari seseorang.
“Nah…tu dia,” Ansya memfokuskan pandangannya ke arah seorang guru. Guru itu adalah Bu Nara, pembimbing mereka selama latihan drama.
“Pagi, Bu,” sapa Ansya dan Dila serentak sambil tersenyum.
“Pagi,” jawab Bu Nara dengan nada bijak sambil terus berjalan ke dalam ruang seni.
Ansya tersenyum senang kepada Dila karena mereka datang pada waktu yang tepat. Jika mereka telat sedikit saja, Bu Nara akan memberikan sanksi tanpa ragu-ragu. Mereka pun bergegas masuk.
Di dalam, Bu Nara langsung memerintahkan semua pemeran tokoh dalam drama untuk berkumpul. Bu Nara sengaja memajukan jam latihan agar tidak ada waktu terbuang. Mereka latihan selama dua jam. Ansya dan Dila memang mengambil peran yang sangat penting di drama ini. Mereka menjadi pemeran utama. Drama ini adalah drama musikal, dan mereka dituntut untuk menyanyi dalam drama ini. Tidak salah memang jika memilih Ansya dan Dila, karena hobi mereka memang menyanyi dan suara mereka juga tidak buruk.
Seusai latihan, Ansya mendekati Bu Nara yang sedang duduk di depan ruangan dan bersiap untuk meninggalkan ruangan.
“Bu, saya boleh tanya?” tanya Ansya.
“Apa, Ansya?” jawab Bu Nara masih dengan nada bijaknya. Terlihat wajah masam Ansya saat mendengar nada yang dikeluarkan Bu Nara.
“Jadi begini, Bu. Pentas drama kan di mulai jam 04.00 sore, gimana kalau di majuin jamnya, Bu? Yah…di tuker sama waktu pentasnya siapa gitu, Bu?” rayu Ansya dengan wajah manis yang dibuat-buat.
“Ansya, tidak akan ada perubahan jadwal pentas. Dan tidak akan berubah hanya karena keinginanmu itu, Ansya,” jawab Bu Nara. Kali ini Ansya mendengarnya seperti nada nenek sihir yang siap untuk merubahnya menjadi katak buruk rupa.
“Oke, Bu. Saya paham,”
Ansya memberikan ekspresi tersenyum namun ada sedikit ketakutan dan penyesalan dalam senyumannya. Lalu ia berjalan ke luar ruangan. Di luar sudah ada Dila yang sengaja menunggu Ansya. Dila memberikan senyum simpati pada Ansya. Ia memang tahu apa yang dirasakan Ansya.
--o--
Hari berganti, dan hari ini adalah hari Minggu. Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi, dan Ansya masih belum bangun dari tidurnya. Biasanya karena semalaman ia bermain dengan laptopnya sampai larut malam.
Kring………..
Telepon ruang tengah berdering. Fahran yang saat itu sedang bermain PS di ruang tengah bergegas mengangkat gagang telepon.
“Assalamualaykum…” salam Fahran kepada orang yang menelepon, “Kak Ansya belum bangun, Om. Sebentar, ya, Fahran panggilin,” lanjut Fahran menjawab pertanyaan dari seseorang yang menelepon itu. Fahran meletakkan gagang telepon itu di atas meja dan berlari ke kamar Ansya.
“KAAAKK, OM FADLI TELEPON. KATANYA NYARIIN KAKAAKK,” teriak Fahran dengan sengaja agar Ansya bangun.
“Apa sih? Berisik!” kata Ansya lemas.
Seketika Ansya bangun karena dia sadar, ternyata Om Fadli yang menelepon. Ia merasa ada yang aneh, karena jarang sekali Om Fadli menelepon. Om Fadli adalah ayah Dila, dan selama ini Om Fadli tidak menelepon untuk mencari Ansya. Ansya sangat khawatir, firasatnya buruk tentang hal ini. Ansya lalu bergegas lari.
Ia mengambil gagan telepon, “Hallo, Om, Om. Dila kenapa?” Ansya bertanya dengan khawatir. Namun ternyata sambungan telepon sudah terputus. Dia semakin khawatir mengenai hal ini. Tak pikir panjang, dia bergegas bersiap-siap menuju rumah Dila. Dia ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
--o--
Ansya yang masih menaiki sepeda hitamnya sudah sampai di depan gerbang rumah Dila. Ansya ingin masuk, untuk memastikan Dila baik-baik saja.
“DILAA…..INI GUE ANSYAA……” kebiasaan Ansya adalah berteriak-teriak seperti ini jika pintu gerbang rumah Dila terkunci. Walaupun ada tombol bel di samping gerbang, Ansya lebih suka memanggil nama Dila agar dia tahu bahwa Ansya datang. Kebiasaan konyol dari Ansya yang tidak pernah dilarang oleh Dila.
Tak ada jawaban dari Dila. Ansya jadi merasa aneh. Dia tidak pernah diberi tahu bahwa hari ini Dila dan keluarganya akan pergi. Biasanya Dila akan memberi tahu Ansya jika dia ingin pergi.
“DILAAAAAAAAAA……” kali ini Ansya berteriak sekeras-kerasnya. Ia yakin, pasti Bi Inu ada di rumah jika keluarga Dila pergi. Dan jika ia berteriak terus, pasti Bi Inu akan keluar. Dan ternyata benar, Bi Inu membuka pintu rumah menuju gerbang.
“Aduhhh…..neng Ansya… Teriak-teriak mulu…” kata Bi Inu agak kesal.
“Abis, nggak ada yang keluar sih. Mana gerbang dikunci. Mana Dila? Pada kemana?” keluh Ansya pada Bi Inu, masih di luar pagar.
“Emang eneng kagak tau? Kan Non Dila tadi tiba-tiba pingsan. Terus dibawa ke rumah sakit,”
Hati Ansya terasa tersambar petir. Lagi-lagi tanpa pikir panjang dia langsung pergi, nekat menyusul Dila ke rumah sakit. Ansya yakin, Dila hanya di bawa ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Fandara. Dia yakin bisa menyusul Dila ke sana.
“Makasih, Bi, infonya,” kata Ansya sambil meninggalkan Bi Inu.
Perasaan Ansya selama perjalanan tidak karuan. Jadi tadi Om Fadli mau ngasih tau… Aduh gimana nih, Dila kenapa?
Sesampainya di rumah sakit, Ansya hanya meletakkan sepedanya dengan sembarangan di depan tangga masuk rumah sakit. Dia berlari ke dalam. Dia terlihat seperti orang yang linglung. Dan beruntungnya dia, dia melihat Tante Rani, ibu Dila, yang tampak khawatir di depan sebuah ruangan. Ansya langsung menghampiri Tante Rani.
“Tante, Dila mana? Dia kenapa?” Ansya bertanya dengan nada yang sangat khawatir.
Tante Rani ragu menjawab. Dia mencoba menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Ansya, lalu membuka mulutnya dan mengatakan, “Dila, ehm…..”, Tante Rani ingat kata-kata yang diucapkan Dila saat sudah siuman dari pingsannya beberapa menit yang lalu…..
“Mah, jangan bilang, Ansya!” kata Dila lembut kepada Tante Rani.
“Iya, Sayang,” jawab Tante Rani yang akan menuruti apa saja yang diminta Dila saat itu.
“Tante, kog ngelamun? Gimana Dila?” ucap Ansya membuat Tante Rani tersadar dari lamunannya.
“Oh, Dila, dia kecapekan. Sekarang dia sudah siuman. Kamu ke dalam gih, Sya. Pasti Dila pengen banget ditemenin sama kamu,” jawab Tante Rani dengan nada tenang yang dipaksa.
Ansya langsung masuk ke dalam ruangan Dila. Dia melihat Dila terbaring lemah, hanya diberi bantuan oksigen yang dipasang di hidungnya. Dila tersenyum kepada Ansya, tak berkata apa-apa. Ansya tahu, Dila sedang lemah, jadi dia tidak mau meminta penjelasan dari Dila. Dia yakin, Dila pasti akan memberitahunya.
--o--
Sabtu sore, Ansya dan Dila sudah siap dengan kostum mereka di ruang rias. Walaupun pentas drama akan ditampilkan dua jam lagi, namun Bu Nara meminta semua pemeran sudah siap dua jam sebelum pentas. Ini merupakan keanehan yang dirasakan Ansya.
Ansya meninggalkan rasa anehnya terhadap keputusan Bu Nara, dan mengalihkan pikirannya ke Dila. Akhir-akhir ini, setelah kejadian Dila masuk rumah sakit saat itu, Dila sering pucat. Tapi dia tidak menunjukkan kalau dia sakit, karena umumnya orang sakit itu pasti lemah dan tidak boleh berbuat apa-apa. Tapi Dila tidak menunjukkan tanda-tanda itu selama seminggu ini. Hanya saja, dia jarang ke rumah Ansya.
“Lo nggak papa kan, Dil?” ucap Ansya khawatir.
“Apaan sih, Sya? Gue keliatan orang sakit apa?” jawab Dila lembut.
“Ya…nggak sih sekarang, tapi…”
“Udah deh!” ucap Dila menenangkan Ansya, “Eh, Sya, gue punya sesuatu buat lo”, lanjut Dila.
“Apa?” jawab Ansya penasaran. Namun pertanyaannya hanya dibalas dengan senyuman. Dan Ansya pun malas untuk menuntut Dila menjelaskan kepadanya.
Tiba-tiba Bu Nara datang dari belakang panggung, “Anak-anak, jam pentas untuk drama kita dimajukan. Ayo siap-siap! Kita tidak mau semua menjadi kacau.”
Ansya merasa aneh. Mana mungkin jamnya dimajuin, lagi pula, buat apa coba… Jangan-jangan…. Ansya menatap Dila. Dan Dila hanya tersenyum kepadanya. Ternyata dugaannya benar.  Ini kejutannya dari Dila.
”Tapi kok lo bisa?” tanya Ansya yang hanya dibalas senyum lagi oleh Dila, “Ya udahlah…..Makasih banyak yaa…Elo emang sahabat gue yang paling gue sayang…” lanjut Ansya tak mau banyak bertanya dan langsung memeluk Dila. Dila terlihat senang karena Ansya sangat senang mendapatkan kejutan darinya.
Sehari sebelum hari pertunjukkan, Dila yang ditemani ibunya menemui Bu Nara tanpa sepengetahuan Ansya.
“Bu, permintaan Ansya waktu itu, biar jam pentasnya dimajuin, tolong dikabulkan ya, Bu! Saya mohooonn banget, Bu!” pinta Dila kepada Bu Nara.
“Oh, no,no,no, dear. Tidak bisa dirubah. Tidak ada pemajuan jam pentas,” jawab Bu Nara.
Dila menatap ibunya dengan tatapan memohon. Tante Rina tahu apa yang diinginkan Dila. lalu dia menjelaskan segala hal kepada Bu Nara agar Bu Nara mau menuruti apa yang diinginkan Dila. Bu Nara pun akhirnya mengerti dan dia bilang akan memikirkan hal tersebut.
--o--
Suasana riuh masih terdengar setelah konser music jazz berlangsung di Jakarta Convention Centre. Ansya dan Dila sudah berada di parkiran berjalan menuju ke mobil pribadi milik Dila. Mereka terlihat sangat senang setelah menyaksikan konser itu.
“Dil, makasih banget. Makasiiiiiiiihhh banget. Elo udah banyak bantu gue hari ini,” kata Ansya.
Dila tersenyum dan menjawab, “Iya, Sya. Mungkin cuma ini yang bisa gue bantu dan kasih ke elo. Elo kan udah kaya saudara gue sendiri.”
“By the way, gimana bisa lo ngerubah jadwal pentas kita tadi? Padahal gue aja dulu digituin ama Bu Nara waktu minta perubahan itu,” Ansya berkata sambil memasang wajah penasaran.
“Ntar gue jelasin…” jawab Dila dengan tenang.
Saat Dila akan masuk ke mobil, tiba-tiba tubuhnya jatuh dengan lemahnya ke arah Ansya yang berada di belakangnya. Secara refleks Ansya menangkap Dila, namun Ansya tetap terjatuh.
“Dil, Dila. Lo kenapa? Pak Ajang, Pak. Dila, Pak,” kata Ansya khawatir dan memanggil supir Dila.
“Neng, kita harus cepet bawa Non Dila ke rumah sakit. Eneng tolong telepon ayahnya Non Dila ya, Neng!” ucap Pak Ajang sambil menggendong Dila masuk ke dalam mobil.
--o--
“Om, kenapa nggak pernah ada yang cerita sama Ansya, Om? Ansya kan sahabatnya Dila. Dila udah Ansya anggep kaya saudara Ansya sendiri. Kenapa, Om?” Ansya meluapkan semua emosinya sambil menangis di depan orang tua Dila. Dia tak tahu bahwa selama ini Dila mengidap penyakit yang cukup parah.
Saat itu, dokter yang memeriksa keadaan Dila keluar dari ruangan Dila. Dokter memperlihatkan wajah yang tidak ingin mereka saksikan. Dan dokter pun memberikan kabar yang tidak mau mereka terima. Dokter menjelaskan, bahwa kanker Dila sudah memasuki stadium 4. Umurnya mungkin tinggal beberapa hari lagi. Dokter tidak bisa menjelaskan mengapa hal ini sangat cepat terjadi. Mereka semua menangis dalam diam saat mendengar kabar itu. Dokter menyarankan, agar ada orang yang memotivasi Dila. Ansya bergegas masuk ke dalam ruangan Dila tanpa berbicara apapun. Ansya menghapus raut sedihnya saat masuk.
“Hai, Sya. Gue nggak papa kok,” ucap Dila lemah. Suaranya hampir tak terdengar karena di mulutnya dipasang alat bantu oksigen.
Ansya yang mendengar itu langsung duduk di samping tempat tidur Dila, “Lo kayak gini, pake infuse, oksigen pula, masih bilang nggak papa? Elo….” dia tak berani melanjutkan, karena akan membuat air matanya terus mengalir.
“Sya, gue seneng banget hari ini. Makasih ya, Sya, udah mau jadi sahabat terbaik gue, sekaligus jadi saudara kembar gue,” ucap Dila yang tersenyum canda dan memegang tangan Ansya, “Sya, kalau gue beneran pergi, gue siap kok…” lanjutnya.
“Dil, elo nggak akan pergi, nggak boleh pergi!” kali ini Ansya tak bisa menahan air matanya.
“Gue harus, ini takdir gue. Maafin gue ya, Sya,” Dila pun juga tak bisa menahan air matanya.
“Gue yang harusnya ngasih kejutan-kejutan itu buat, lo… Gue, gue belum sempet ngasih sesuatu yang berharga buat lo, Dil. Gue…”
“Udah, Sya. Kepedulian elo dan kemauan elo jadi sobat gue udah cukup buat gue. Gue anggep kita impas sekarang. Itu hadiah terakhir yang mampu gue kasih ke elo.”
“Makasih, Dil. Gue harusnya bisa bales semua kebaikan elo.”
Mereka saling tersenyum dan berpelukan. Mereka pun saling menenangkan satu sama lain.
--o--
Dua minggu telah berlalu. Banyak yang berubah dari kehidupan Ansya. Seminggu setelah malam saat Dila di rumah sakitkan, Ansya akhirnya harus ikhlas menerima kepergian Dila. Berat untuk Ansya melepas Dila, karena dia masih ingin membalas semua kebaikan dari Dila. Dila tak mampu berjuang melawan kanker limfoma yang menyerangnya. Ansya terus menemani Dila, sampi Dila benar-benar tak mampu lagi.
Seminggu setelah kepergian Dila, Ansya selalu berada di rumah. Keluarganya berusaha untuk mengajaknya liburan bersama, namun sia-sia. Ansya menenangkan diri hingga ia mampu untuk keluar dari rumahnya lagi.
Saat hari pertama masuk sekolah untuk semester yang baru, Ansya mulai bisa mengikhlaskan kepergian Dila. Dan ia berusaha untuk menjadi Ansya yang selama ini teman-temannya kenal, periang dan konyol. Banyak teman-teman Ansya yang ikut bersimpati dan peduli pada Ansya.
Elo tetep sahabat gue yang terbaik, Sya.

Naskah Pidato Bertema Nasionalisme


Assalamualykum wr. wb.
Bapak Guru yang saya hormati,
dan teman-teman yang saya banggakan.
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat  rahmat serta hidayah-Nya, kita semua dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun. Sebelumnya, saya mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Dalam kesempatan kali ini, saya akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan nasionalisme.
Bapak Guru dan teman-teman sekalian, tentu kita mengenal arti dari nasionalisme, yaitu rasa cinta tanah air. Nasionalisme dapat disertai dengan rasa patriotism (rela berkorban). Kita tahu bahwa nasionalisme terbagi menjadi nasionalisme yang positif dan negative. Kali ini, saya akan membahas tentang nasionalisme yang positif, karena kita tahu, hal tersebut merupakan hal yang sangat penting dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita.
Nasionalisme yang positif adalah nasionalisme yang disertai rasa toleransi, rendah hati, dan sikap patriotism yang positif. Kita tahu, toleransi adalah sikap tenggang rasa. Dalam bersikap nasionalisme yang positif, kita tidak boleh memandang rendah negara lain hanya karena sikap nasionalisme kita yang tinggi. Dalam hal ini, kita dapat mengistilahkannya sebagai paham chauvinism. Paham ini pernah diterapkan oleh Hitler di negaranya, dan dalam penerapannya, paham tersebut menimbulkan tindakan-tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Kita sebagai warga negara yang menjunjung tinggi perlindungan HAM, tidak sepatutnya berperilaku demikian.
Lalu yang selanjutnya, sikap rendah hati yang merupakan pendukung dan ciri dari sikap nasionalisme yang positif. Sikap rendah hati tidak jauh berbeda dengan sikap toleransi. Kita tidak boleh merasa satu-satunya ras yang paling tinggi martabatnya, karena hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan baik dalam negara kita maupun hubungan dengan luar negeri.
Kemudian sikap patriotism yang positif. Maksudnya adalah, rela berkorban namun kita tetap harus memperhatikan dan menimbang baik buruknya jika kita melakukan suatu tindakan. Kita harus paham, jika kita bertindak kita tidak boleh sembrono, tidak boleh sewenang-wenang, dan tetap harus memperhatikan hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Jika kita sudah paham akan ketiga hal tersebut, yaitu mengenai toleransi, rendah hati, dan sikap patriotism yang positif dalam nasionalisme, kita akan mengerti dan menjiwai makna nasionalisme yang positif dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Teman-teman sekalian, kita sebagai siswa dapat menunjukkan sikap nasionalisme yang positif dengan melakukan beberapa hal positif, diantaranya :
·         Meraih prestasi yang tinggi dengan belajar sungguh-sungguh.
·         Mengikuti lomba-lomba olimpiade tingkat nasional sampai internasional.
·         Membuat ide-ide kreatif untuk meningkatkan kemajuan Indonesia.
·         Melestarikan budaya tradiosional Indonesia.
·         Mencintai produk dalam negeri, dsb.
Bapak Guru dan teman-teman sekalian, dewasa ini kita harus mampu membuktikan bahwa kita mempunyai rasa nasionalisme yang positif dan kita harus selalu selektif dalam menghadapi zaman globalisasi yang mendunia ini. Karena tentunya, akan banyak hal-hal yang dapat merusak dan mengurangi rasa nasionalisme kita. Kita tentu menyadari hal tersebut sudah mulai muncul dalam lingkungan kita. Jadi kita harus pintar-pintar menjaga kekokohan rasa nasionalisme kita.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Jika ada salah kata yang tidak berkenan di hati Bapak Guru dan teman-teman semua, saya mohon maaf.
Wassalamualykum wr. wb